Cinta, tolong aku, Cinta. Aku kehilangan akan rasa indah itu. Aku kehilangan akan rasa yang pernah dengan bangga aku puja. Aku kehilangan akan arti dia yang penuh makna. Tolong aku, Cinta.
Rasanya, aku telah tenggelam hingga ke dasarnya, bukan dasar cinta, namun dasarnya para mati rasa. Dan agaknya, aku telah kehilangan harapan untuk hidup, bernapas dengan cinta yang setiap detik membantu untuk berdesah.
Terlalu sering melepas genggaman hangat seakan membuatku merasa sering melepas ikatan tali merah. Sulit menemukan jalan indah, susah menemukan arah tujuan. Anehnya aku tidak merasa takut, melainkan merasa nyaman. Saangaat nyaman. Seolah-olah otakku memberi perintah untuk merela pada keadaan.
Namun, Cinta, aku sungguh-sungguh ingin kau kembali hadir dalam hasrat ini. Aku ingin kau kembali memimpin rasa yang penuh logika ini, kembali mengatur arah yang berantakan ini. Dan aku ingin kau kembali menggores, jika perlu hingga kembali mati lagi, napas yang mulai berdesah tak peduli ini.
Biarkan aku membocorkan satu rahasia, Cinta. Dia—yang baru hadir di saat aku terluka, terluka oleh kalimat cinta tentunya. Bukan, aku tidak sempat merasakan keindahan mu, Cinta. Mungkin aku bahagia saat bersama dia—yang lalu, namun cinta? Kurasa itu hanya kobaran api rasa hampa. Karena sejujurnya, aku tidak terluka, melainkan terlupa.
Aku tidak memiliki masalah pribadi dengan rasa terlupa, karena itulah sifat manusia. Sering melupakan mereka yang terlupa. Dan aku sudah terlalu sering bertemu dengan keadaan itu, aku pun tak hirau.
Dan dia, Cinta, dia hadir atas izinku, bermaksud untuk kembali menghidupkan mu. Rasa yang sempat mati dan terlupa begitu saja seakan ingin dia alihkan kembali. Menarik ku ke permukaan, dan mungkin ingin membawa terbang ke langit angkasa luas.
Namun sayang, aku ragu atas bantuan itu, Cinta. Aku bimbang antara menerima bantuan atau bertahan hingga aku benar-benar mati. Aku dapat merasakan ketulusan yang membulat besar darinya, Cinta, namun aku tetap ragu. Aku bahkan memiliki niat untuk menahannya berada di dasar mati rasa bersamaku. Benar-benar gila aku ini, Cinta.
Dia bersungguh-sungguh, Cinta. Dia ingin kembali menghidupkan mu yang bahkan sulit untuk memberi rasa bahagia lagi. Namun aku yang bermasalah, aku menggantungnya, bukan karena niat, tetapi karena terlambat. Dia cukup terlambat untuk menghidupkan mu, Cinta. Karena sepertinya, kau benar-benar mati tanpa harapan.
Dan untuk dia, aku mohon menyerah lah. Aku tidak ingin kau terluka, entah karena aku peduli atau karena aku tak ingin menjadi pelaku. Tetapi, jika akhirnya dia terluka dan menyalahkan ku, aku pun akan dengan senang hati untuk menerima tuduhan itu. Karena pada nyatanya, tanpa sadar, aku adalah pembunuh para cinta yang hidup dengan bangga dan bahagia.
Jakarta, 1 September 2025.
Tong Winter.